Image by FlamingText.com

Rabu, 28 Desember 2011



KUMPULAN CERPEN

CINTA YANG TERGANTI
OLEH  : STEPHANI

“Bunda tahu, kehilangan Rado sangat menyakitkan dan tidak bisa tergantikan. Tapi coba Rianti membuka hati buat Ryan. Dia juga saudara kembar Rado, setidaknya....”

Guntur di luar, suaranya menggiriskan hati. Angin dan air seperti beradu. Dingin. Bibirku sudah membiru, gigiku beradu, menahan dingin yang menggigit. Padahal sudah kukenakan
sweater pemberian Rado, ketika dia menjalankan tugas ke Padang. Rado? Saat dia mengingat nama itu, tiba-tiba air bening menyeruak begitu saja dari matanya. Bobol lagi pertahananku. Dasar cengeng! Kenapa aku harus menangis lagi?

Peduli amat, orang bilang cintaku cinta monyet. Namanya juga baru kali ini aku mengenal cowok secara serius. Maklum. Keluargaku sedikit kolot. Anak cewek tidak boleh keluyuran. Pulang sekolah, wajib langsung diam di rumah. Kalau tidak ikut pengajian, aku musti membantu Meta, adikku, belajar. Kadang aku juga menemani ibu belanja keperluan toko kami. Padahal aku merasa sudah dewasa, umurku sudah enam belas tahun... tapi tetap saja kedua orangtuaku menganggap aku belum tahu apa-apa.

Siang itu aku mau menjemput adikku. Kebetulan aku pulang cepat, sehingga bisa menjemput Meta. Ketika aku menyeberangi jalan, tiba-tiba muncul sebuah mobil sedan berwarna biru langsung menuju ke arahku. Karena begitu cepatnya, aku tak mampu berlari atau berteriak lagi. Aku malah terpaku, seperti menunggu maut itu menjemputku....
Darrr! Suara keras itu memekakkan telinga. Aku merasa tubuhku melayang, entah berapa lama sampai sebuah tangan dingin menepuk-nepuk pipiku.

“Bangun, Mbak.... Mbak nggak apa-apa?”
Aku menggeliat. Ringan banget rasanya. Kupikir aku sudah mati. Ternyata aku sudah ada di sebuah rumah makan. Aku baru ingat, rumah makan itu kan letaknya berseberangan dengan sekolah adikku. Lantas....

“Mbak tadi nyaris jadi korban tabrak lari. Orang gila tuh! Untung ada temannya mbak duluan nyamber. Kalau tidak, aduhh...” cerocos seorang ibu setengah baya yang keluar sambil membawakan dua cangkir teh hangat. Mmm... pasti si empunya rumah makan.

“Temanku???” Aku berusaha menajamkan lagi penglihatanku. Sesosok cowok jangkung dengan baju seragam yang sama denganku, kelihatan menunduk tersipu.

“Sori, aku tadi ngaku-ngaku temen kamu. Nggak apa-apa kan, kita juga satu sekolah... daripada ribet neranginnya ke ibu itu,” bisik cowok itu.

Aku terhenyak. Aku yang malu, anak satu sekolah tidak kukenali. Kuper banget.
“Yuk kuantar pulang. Aku bawa kendaraan....”

Aku menggeleng. Tiba-tiba bayangan adikku terlintas....

“Aku ada janji. Thanks, ya....”

“Yakin, nggak apa-apa?”

Aku menggangguk, “Serius.”

“Oke deh... bye. Aku duluan.” Cowok itu beranjak dari duduknya, sebelum aku sadar, dia sudah pergi. Dasar! Bodoh benar aku. Kenapa tidak kutanya siapa namanya? Kelas berapa?

Ah, wajahnya saja mulai samar-samar. Aku tidak ingat bener, hanya sekilas kuingat tatapan matanya yang tajam dan genggaman tangannya yang begitu kuat dan hangat. Siapa sangka, aku kembali bertemu cowok itu saat briefing hari pertama workshop persabu-abu di sekolahku. Rado... menyebut namanya saja, pipiku bisa merona tiba-tiba. Entah kenapa, keingintahuanku untuk mengenal dirinya lebih dalam begitu menggoda, sampai-sampai aku jadi lebih cepat datang ke sekolah, hanya untuk melihatnya datang, dari teras kelasku.
11 JANUARI
Rado... Rado. Andai ini mimpi, aku tak berani untuk bangun. Aku ingin tetap terlelap dalam mimpiku. Saat kau bilang, kau ingin selalu menjagaku dalam sedih dan senang, dalam tangis dan tawa. Duh, romantisnya. Dia nembak aku bukan dengan cincin, bunga, atau sekotak coklat. Tapi dia membuatku terhenyak, ketika dia memberiku kumpulan lagu-lagu kesukaanku dalam satu CD yang diamix sendiri. Seperti lagu Gigi, ya.. dia nembak aku pas tanggal 11 Januari, dua tahun yang lalu.

Rado... andai kamu tahu, kamu benar-benar sudah mengubah sebagian besar hidupku. Aku yang pemalu, penyendiri, kini seperti bunga yang mulai berani memperlihatkan kelopaknya. Aku mulai berani aktif di berbagai ekskul, seperti kamu. Aku mulai tahu, tidak semua laki-laki sejahat yang kudengar dari doktrin kedua orangtuaku. Ada juga cowok yang berhati hangat seperti kamu.

Saat aku jatuh, saat aku kecewa, kamu selalu ada. Ketika rumor membuat keluargaku nyaris berantakan, kamu justru datang menentramkanku. Aku tak tahu lagi, apa yang harus kukatakan buat menunjukkan aku juga serius sayang kamu. Impian kita rupanya tinggal selangkah lagi. Dua tahun sudah kita lalui, orangtua kita juga seperti keluarga besar.

Rencana pertunangan di depan mata. Bahkan sudah ada tanggal pernikahan! Kata orangtua kami, bertunangan dulu yang penting. Biar masih kuliah, ntar juga bisa diatur.

Rona bahagia tidak mampu kusembunyikan. Pagi itu, kebaya brokat warna biru muda siap kukenakan. Aku masih sibuk dirias, saat kudengar suara ibuku seperti berteriak, setengah histeris. Aku masih tak mengerti, ketika ayahku duduk di depanku, berkata lamat-lamat.... Rado sudah pergi.

Seisi rumahku menjadi gaduh. Tapi entah kenapa, aku tidak bisa menangis. Aku juga tak merasakan apa-apa, ketika ayah menjelaskan Rado mengalami kecelakaan 5. dan tewas seketika di tempat kejadian. Telingaku seperti mendengung, tak jelas. Badanku seperti mati rasa, kebal, tak berasa apa pun.

11 Januari saat Rado nembak aku. Tanggal itu pula rencana pertunangan kami. Tanggal itu pula tanggal Rado dimakamkan. Rado meninggalkanku, tanpa pesan, tanpa tanda apa pun. Cowok yang sudah dua tahun ini mengisi hari-hariku. Namanya memenuhi diary-ku. Namanya selalu ada dalam doa sujudku.

Aku tak punya air mata lagi. Entah kenapa, hingga jasadnya menghilang tertutup tanah, aku tetap tak mampu menangis. Aku seperti limbung, berada di tempat asing. Sekelilingku tak kukenali lagi.

Pulang ke rumah, ketika aku duduk di depan televisi, bayangan itu mengganggu lagi. Bayangan waktu Rado menolongku pertama kali, lantas dia mengajariku mengurus mading, sampai nembak aku dengan sebuah CD. Badan dan hatiku seperti mati rasa. Tiba-tiba saja, aku mendengar Ibu dan Ayah berteriak histeris, sekilas kulihat bayangan mereka semakin jauh dan gelap.

***
Minggu pagi, saat kumulai hariku. Aku melenggang sendiri. Tujuanku ke makam Rado, sekedar menengok dan mendoakannya. Ya, aku kangen. Tiba di makam, aku nyaris terhenyak. Mimpikah aku? Kenapa Rado masih duduk di depan makam? Lantas.....

Orangtua Rado menenangkanku. Ternyata satu hal yang belum kutahu. Rado punya saudara kembar yang diasuh neneknya. Ryan, nama cowok yang mirip sekali dengan Rado. Astaga....

Guntur masih menggelegar. Lamunanku terputus. Ah, aku terlalu lama melamun. Bayangan Rado dan Ryan tiba-tiba bermain dalam benakku. Aku ingat pembicaraan siang tadi di rumah, ketika bunda Rado datang.
“Bunda tahu, kehilangan Rado sangat menyakitkan dan tidak bisa tergantikan. Tapi coba Rianti membuka hati buat Ryan. Dia juga saudara kembar Rado, setidaknya....”

“Rado bisa diganti Ryan, itu maksud Bunda?” Entah kenapa, nadaku langsung tinggi menanggapi maksud ibu Rado. Memangnya aku barang. Tidak dengan A, bisa dengan B, sekalipun mereka sedarah?
Aku terduduk lemas di ruang makan. Bayangan Rado dan Ryan lamat-lamat semakin jauh. Kumohon, Tuhan, haruskah kuterima cinta Ryan? 
.
 


DEMI VALENTINE

OLEH : DONATUS

Domie tak pernah tahu bahwa selama ini Zetta begitu mengagumi dan mengharapkan cintanya.“Apakah gue harus mencuri uang?” Sebersit pikiran kerap mengganggu pikiran Domie, setiap kali ia merasakan jalan buntu.
Satu-satunya barang berharga yang dimiliki cuma telepon genggam, hadiah ulang tahun dari ibunya setahun yang lalu. Jika tiba-tiba benda itu raib, tak cuma Ibu, tapi seisi rumah pasti akan geger mempermasalahkannya. Dan tipis harapan untuk bisa memiliki lagi sebuah ponsel.
“Jika anak-anak lagi istirahat, atau pas jam olahraga di lapangan, gue bisa menyelinap masuk ke kelas dan mencuri uang dari salah satu tas,” pikir Domie lagi. Ia tahu, banyak anak orang kaya yang ke sekolah bawa uang ratusan ribu. “Tapi kalo katahuan? Resikonya gede, bisa dikeluarin dari sekolah. Dan malunya itu!”
Domie tentu saja tak ingin berbuat konyol. Mencuri bukan cuma konyol, tapi dosa besar. Domie cepat-cepat menepis pikiran jahat itu. Uang memang harus ia dapatkan, tapi mesti dengan cara yang halal.
“Dom, elo liburan mau ke mana?” tanya Zetta, yang batal keluar dari kelas ketika dilihatnya Domie masih terpekur di bangkunya.
“Ke mana, ya? Nggak kepikiran sama sekali, Zet. Elo sendiri?” Domie balik bertanya pada teman sekelas sekaligus tetangga dekatnya itu. Zetta tinggal satu blok dengan Domie.
“Gue kayaknya harus ngungsi ke rumah Tante di Depok.”
“Emang kenapa? Takut banjir? Emang daerah kita banjir? Enggak, kan?”.

“Enggak, sih. Tapi kebetulan sebentar lagi rumah mau direnovasi. Nyokap pengen kamar anak-anak dipisah semua. Enak juga ngebayangin bakal punya kamar sendiri, jauh dari usilnya si Beng, adik gue itu. Tapi jadi repot selama rumah dibenahi. Mendingan gue ngungsi aja, daripada ntar terpaksa bantu-bantu jadi kuli bangunan. Hi hi hi....”
Domie cukup kenal dengan keluarga Zetta. Mereka keluarga paling kaya di Blok H. Sebersit pikiran muncul di benak Domie.
“Emang siapa yang bakal ngerenovasi, Zet?”
“Paling juga tetangga-tetangga kita sendiri. Atau orang-orang dari kampung belakang. Kayaknya sih bukan pekerjaan yang berat. Paling juga makan waktu seminggu, pas sama masa liburan kita. Jadi ntar, sepulang dari Depok, rumah udah beres lagi.”
“Bagus deh kalo gitu,” kata Domie.
“Bagus apanya?”
“Eh, elo jadi punya alasan untuk liburan ke Depok.”
“Elo mau juga?”
“Mau apa?”
“Liburan ke Depok.”
“Maksud elo?”
“Yaaa, siapa tahu elo mau nganter gue ke sana.”
Domie tercenung sebentar. “Kayaknya enggak deh, Zet.”
Zetta cemberut.
“Gue mendadak ada rencana baru buat ngisi liburan kita nanti.”
“Uh? Kok mendadak? Elo ngiri, ya?”
“Nggak! Bukan! Gue emang punya rencana.”
“Pasti elo mau nyusun karya tulis, buat diikutin Lomba Karya Ilmiah pertengahan tahun nanti, ya? Ya udah, kerjain aja!” Zetta mendengus kesal dan meninggalkan Domie. Domie cuma mengawasi cewek manis itu menghilang di luar kelas.
***.

Tante Zelda mengawasi cara kerja Domie yang cekatan. Meski bukan seorang tukang cat profesional, Domie terlihat bisa belajar dengan cepat. Ia menggerakkan kuas dengan benar, membuat hampir tak ada setitik pun cat yang menetes di lantai.
“Yang di kamar anak-anak warnanya pink, ya.” Tante Zelda mengingatkan. “Gudangnya tetep kuning aja, biar terang.”
“Iya, Tante.” Domie menjawab sambil terus menyapukan kuas cat ke tembok. Sebenarnya Domie agak gugup ditunggui Tante Zelda. Di rumah ini ada dua orang tukang batu dan tiga tenaga serabutan, tapi Tante Zelda lebih sering mengawasi dan menunggui Domie bekerja. Pasti karena Tante Zelda merasa paling dekat dengan Domie.
“Mungkin juga karena kasihan,” pikir Domie.
“Kamu nggak dimarahi orangtuamu, Dom?”
“Enggak, Tante. Bapak dan Ibu justru senang karena saya mau bekerja. Jadi kuli juga nggak apa-apa, yang penting halal.”
“Iya, ya. Lagian bagus juga kalo masih semuda kamu udah mau bekerja. Cuma, apa nggak sayang karenanya kamu jadi kehilangan acara liburan sekolah kamu?”
“Kebetulan saya nggak ada acara, Tante. Liburan cuma diam di rumah terus juga bosen. Eh, Zetta sama Beng kapan pulangnya?”
“Katanya sih Sabtu sore, dianter tantenya sendiri. Senin, kalian udah masuk sekolah lagi, kan?”
Domie mengangguk. Lalu, “Tapi janji ya, Tante. Tante nggak usah bilang-bilang ke Zetta bahwa saya jadi kuli di sini.”
“Lho, siapa bilang kamu jadi kuli? Kamu jadi tukang cat, dan nyatanya kamu bisa bekerja dengan baik. Kamu bakal nerima upah yang sepadan, karena hasil pekerjaanmu emang baik.”
“Iya, tapi tolong nggak usah bilang saya kerja di sini, ya....”
“Kenapa? Malu? Pekerjaan halal kok malu! Di negeri ini banyak yang sukanya mencuri uang rakyat tapi mereka pada nggak malu.”
“Kok Tante ngomongnya jadi ke mana-mana?” Domie menghentikan gerakan kuasnya. “Saya memang malu kalo ketahuan Zetta saya kerja di sini. Kalo aja Zetta nggak pergi liburan ke Depok, belum tentu saya sanggup meminta pekerjaan di rumah ini.”.

Tante Zelda menganguk-angguk paham. Ia bisa memaklumi jalan pikiran Domie. “Ya wis, kamu terusin kerjamu. Tante tinggal dulu untuk nengok kerjaan Pak Rodi, ya? Kalo udah waktunya makan siang, kamu harus makan. Ambil aja sendiri di meja makan dalam. Kamu nggak usah makan bareng mereka. Oke?”
“Oke, Tante!” Domie merasa senang karena ia sangat diistimewakan di rumah ini.
Domie meneruskan pekerjaannya dengan hati riang. Semangatnya kian tumbuh ketika ia membayangkan satu masalah akan segera dapat diselesaikannya. Kado Valentine yang akan dipersembahkannya buat Laudia bukan lagi impian kosong semata.
Sebuah arloji berbentuk hati seharga tiga rutus ribu rupiah itu adalah hadiah paling pas buat Laudia di hari Valentine. Hadiah yang harus ditebus dengan hasil kerja keras dan keringatnya sendiri.
Lagi-lagi Domie tersenyum.
***
Sebuah keributan terdengar dari luar.
“Gue bilang juga apa? Anak kecil maunya ikutan mulu! Damn! Sekarang apa coba? Baru juga tiga hari udah merengek-rengek minta pulang! Dasar!”
“Udah deh, sabar juga kenapa sih? Beng emang nggak mungkin bakal tahan terlalu lama kalo nggak dikelonin emaknya!” suara Tante Zelda.
Suara yang satunya lagi siapa?
“Tau begini mendingan dulu nggak usah ikut. Nyesel tujuh turunan deh gue ngajak Beng.”
Zetta?
“Ya udah, kamu boleh balik lagi ke Depok. Beng biar di rumah aja.”
“Huh, liburan tinggal tiga hari ngapain balik ke Depok! Tanggung!”
Ya, siapa lagi pemilik suara cempreng itu kalau bukan Zetta..

Zetta! Oh my God, itu memang Zetta!
“Mau ke mana, Sayang?”
“Nengokin calon kamar baru gue!”
“Eh, tunggu!!! Sini, kita makan dulu. Kamu belum makan, kan? Ini Mama bikin udang saus tiram kesukaanmu. Tunggu!!!”
“Makan aja sama Beng-Beng! Dasar anak mami!”
Terdengar suara kaleng cat kosong terjatuh. Mungkin Zetta sengaja menendangnya.
“Ya Allah!! Dom???!!! Ngapain elo di kamar gue?”
Domie tak berkutik, turun dari tangga segitiga dengan wajah pucat.
“Gue kerja di rumah elo, Zet.”
“Yaaah elo ini! Surprais banget, Dom. Tapi kenapa juga elo nggak bilang-bilang dari dulu. Kalo tau elo bakal ikutan kerja di sini, ngapain juga gue capek-capek ke Depok!” Zetta menatap Domie dengan takjub plus sesal. “Kan gue bisa bantu-bantu elo, Dom. Kita bisa ngobrol juga.”
“Gue... gue malu, Zet. Gue malu kalo ketahuan gue jadi kuli tukang cat di rumah elo sendiri.”
“Ngapain malu? Halal, kan? Daripada mencuri! Gue malah salut, karena elo mau kerja keras. Elo nggak cengeng, nggak jaim kayak teman kita yang lain.”
“Persis seperti ucapan ibunya tempo hari,” batin Domie. “Ibu dan anak sama-sama berhati mulia”
“Tapi tunggu dulu, Dom! Gue jadi curiga sekarang. Elo ini bukan dari keluarga yang pas-pasan. Ortu elo dua-duanya kerja. Bokap elo guru, nyokap elo pegawai negeri juga. Lalu buat apa elo memeras keringat kayak gini?” Zetta menatap Domie tanpa berkedip. Matanya penuh selidik. “Elo cuman mau nyari sensasi, atau ...?”
“Gue kepepet, Zet.”
“Punya utang maksud elo?”
“Bukan! Gue kudu ngumpulin duit buat beli kado Valentine’s Day bentar lagi.”
Zetta makin melotot. “Hah? Jadi elo lagi mgumpulin duit buat beli kado Valentine?!”
“Iya,” jawab Domie datar. “Nggak mungkin juga kan gue nodong ortu buat beli hadiah untuk...”
“Pacar elo? Elo punya pacar, Dom?”
“Gue mau nembak, Zet. Kayaknya pas banget kalo manfaatin moment Hari Kasih Sayang nanti.”
“Siapa cewek sial yang bakalan elo tembak, Dom? Siapa perempuan malang itu?” Zetta berpaling menyembunyikan wajah pucatnya.
“Laudia.”
“Hah?! Laudia?”.

“Iya. Emang kenapa?”
“Anak kelas 11 B itu, kan?”
Domie mengangguk pasrah.
“Pantesan kalo gitu. Pantesan elo bela-belain kerja keras pas libur sekolah kayak gini. Nggak taunya elo emang punya tujuan yang menurut gue rada mustahil. Emang elo mau hadiahi apa?”
“Arloji hati, harganya tiga ratus ribu perak,” kata Domie apa adanya. Kepalang basah, ia harus mengatakan semuanya pada Zetta. Domie berharap, Zetta bisa memberinya masukan yang berguna.
“Aduh, romantisnya!” jerit Zetta dalam bisikan. Zetta berharap, Domie tidak mendengarnya.
“Menurut elo gimana, Zet? Cocok enggak? Kalo warnanya pink keliatan norak enggak, sih? Atau malah cocok sama nuansa Valentine?”
“Terserah elo aja!” Zetta keluar dari kamar yang pengap oleh bau cat itu dengan wajah tak sedap dipandang.
Domie terlongong.
Tapi tiga detik kemudian Zetta kembali masuk ke kamar itu.
“Elo ini tolol atau gimana sih, Dom? Elo tau enggak sih, Laudia itu siapa? Dia itu bintang sinetron! Artis! Seleb!”
Domie tersentak melihat betapa marahnya Zetta.
“Lalu elo ini siapa? Cuma anak guru, murid biasa, bukan siapa-siapa! Ngaca doooonk...!!!”
Memucat wajah Domie. Tapi sebelum ia bisa berkata-kata, mendadak Zetta sudah berlari meninggalkannya.
Domie tak tahu, di kamar yang lain Zetta tengah menangis tersedu-sedu menyesali nasibnya. Hatinya hancur lebur. Zetta tengah membayangkan betapa indahnya hidup ini jika ia yang akan menerima perhatian dan usaha yang begitu gigih dari Domie.
Domie memang tak pernah tahu bahwa selama ini Zetta begitu mengagumi dan mengharapkan cintanya.
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar